HAM dan Demokrasi
Berkenaan dengan penanganan COVID-19 oleh Pemerintah Indonesia bahwa
pandemi sebagai situasi darurat kesehatan yang berdampak pada persoalan ekonomi
dan sosial, namun demikian, pembatasan, atau tindakan dan kebijakan yang
diambil harus proporsional, serta tidak mengorbankan hak asasi manusia dan
demokrasi.
Pada situasi pandemi, kami melihat bahwa penanganan
COVID-19 menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada situasi dan kondisi hak
asasi manusia. Berdasarkan pemantauan, sejumlah langkah yang dilakukan oleh
negara tidak menjadikan hak asasi manusia sebagai dasar
pertimbangan yang memadai dalam menyusun kebijakan .
pelanggaran hak asasi manusia selama pandemi COVID-19,
antara lain sebagai berikut:
·
Hak atas Standar
Kesehatan Tertinggi
berbagai RS rujukan COVID-19 memiliki sejumlah
permasalahan seperti akses informasi yang minim, kekurangan tenaga medis,
kekurangan sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, Sementara
layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan test PCR masih minim karena
masih terbatasnya penyelenggaraan dan akses yang tersedia.
Akses terhadap pelayanan kesehatan adalah bagian tidak
terpisahkan dari hak asasi manusia secara keseluruhan.
·
Hak atas informasi
Dalam konteks penanganan pandemi, informasi yang
valid, terpercaya dan terus diperbaharui mengenai situasi pandemi serta
penanganannya wajib dipenuhi dan diberikan kepada publik tanpa terkecuali. Hal
itu sangat penting karena di tengah ketiadaan vaksin, keselamatan warga
tergantung pada informasi tentang upaya pencegahan dan pengendalian prilaku
individu. Namun, pada awal penyebaran COVID-19, pemerintah justru melakukan hal
yang sebaliknya. penyampaian informasi yang tidak utuh,ketidakjelasan penanganan
krisis. pemerintah terus menutupi informasi mengenai sebaran
daerah merah yang menyulitkan tidak hanya publik tapi juga pemerintah daerah
untuk mengambil tindakan pencegahan yang efektif dan memadai. Ketertutupan dan
penyangkalan atas informasi, justru telah memberikan sinyal dan arah yang
keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa berakibat pada perluasan
penularan wabah dan memperparah bencana.
·
Hak atas kebebasan
berekspresi
Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang
diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Terdapat banyak kasus penangkapan
terhadap orang-orang yang dituduh menyampaikan penghinaan terhadap pejabat
negara atau menyebarkan berita bohong. Hal tersebut menjadi pelanggaran HAM
jika dilakukan dalam konteks mengkritik, mempertanyakan dan menyampaikan
keluhan mengenai cara-cara pemerintah dalam menangani pandemi.
·
Hak untuk bebas dari
diskriminasi dan stigmatisasi
Pandemi COVID-19 menghasilkan gelombang diskriminasi pada kelompok tertentu, salah satunya tenaga kesehatan. Mereka
mendapat stigma negatif dari masyarakat sebagai carrier virus karena
pekerjaannya sehari-hari mengandung resiko tinggi untuk terpapar virus. Hal ini
terlihat dari peristiwa perawat yang diusir dari tempat tinggalnya, tenaga
kesehatan yang ditolak oleh tetangganya, hingga penolakan pemakaman jenazah
seorang perawat di Semarang.hal tersebut lahir
akibat penyebaran informasi yang dilakukan pemerintah tidak akurat sehingga
mengakibatkan publik menerima informasi tidak utuh dan mengambil sikap sendiri
yang keliru.
pandemi global COVID-19 tidak boleh dan tidak bisa
menjadi alasan bagi setiap negara untuk membuat kebijakan yang bersifat melanggar hak asasi manusia. Sebaliknya, hal tersebut seharusnya
menjadi evaluasi untuk kembali melihat peristiwa COVID-19 sebagai isu kesehatan
publik yang berdampak pada isu kesejahteraan sosial. Terlebih lagi, dalam
mengeluarkan kebijakan, negara harus berpikir panjang mengenai dampak jangka
panjang terhadap kebebasan sipil di masyarakat pasca pandemi usai sebab ancaman
yang nyata ialah virus bukan warga negara.